Selasa, 17 September 2013

Senandung gerimis.

Di balik gerimis, selalu ada lagu murni yang mengalir untuk jiwa-jiwa yang sepi.
Setidaknya hal itu yang aku percaya sampai hari ini.
Aku sangat suka gerimis, terlebih ketika aku sedang beradu dalam kesunyian di malam yang dingin.



Sesuatu telah mengetuk pintu hati dan pemikiranku malam ini. Ketika aku berada pada sebuah layar dan suara ketikan ketikan huruf pada layar keyboard yang bisu.
Aku menatap pada kehidupanku yang dulu, semuanya pernah kualami. Mulai dari masa kanak-kanak, remaja, sampai saat ini aku hampir dewasa. Ada banyak kenangan dan memori indah di sana. Kesedihan, tawa, canda dan air mata. Semua itu terjadi silih berganti, mengalir bagai air dan berlalu begitu saja.

Jika saja kantong doraemon benar-benar ada, aku akan memintanya mengeluarkan pintu ajaib dan membukanya untuk pergi kemanapun aku mau.
Tapi aku tersenyum sesaat, karna doraemon ataupun pintu ajaib hanyalah cerita kartun karangan Fuji Fujio.
 
***
Aku pernah jatuh cinta dalam hidupku, jatuh cinta untuk pertama kalinya. Aku bahagia ketika itu, karna tak ada pemikiran apapun lagi selain dia, dan hanya dia. Dia yang kucintai.
Tapi ternyata itu bukan hal yang seharusnya. Aku telah jatuh cinta pada sesuatu  yang salah, seseorang yang salah atau mungkin takdir yang salah.

Aku hanya bisa mengenang cinta itu hari ini. Karna dia telah pergi entah kemana. Dan karna takdir memang tak bisa untuk kutentukan.

Tik..
Tikk..
Tikk..
Bunyi itu mengalir lembut dan perlahan, awalnya lembab dan lalu basah. Secara bergantian tetesan air itu berlomba-lomba untuk jatuh ke bumi. Tetesan yang menghantam batu keras menjadi basah dan berkilau terkena cahaya, tetesan yang bergerumuh terdengar dari atap rumahku, tetesan demi tetesan gerimis bersenandung dalam sunyi ini.
seiring dengan tetesan air mataku yang merindukan seseorang yang dulu pernah kucintai.

Tapi aku kembali menoleh pada hidupku saat ini. Alangkah beruntung dan bersyukurnya diriku. Saat udara dingin menusuk tulang dan gerimis mulai melebat. Aku masih berada di dalam kamarku yang besar, kamar yang hangat dan sunyi ditemani sebuah komputer usang.
Lalu aku mulai mengetik kata demi kata untuk merangkai tulisan yang tidak sebagus karya khalil gibran ini. Ha ha

Aku jadi membagi pikiranku karna  teringat kejadian 2 tahun lalu, ketika sedang berlibur dengan keluargaku. Aku melihat seorang anak kecil berdiri di pinggir jalan. Hari mulai gelap dan gerimis sedang turun ketika itu. Mobil yang ditumpangi oleh keluargaku, tiba-tiba terjebak macet karna jalanan banjir. Sangking macetnya mobil menjadi berhenti total. Berbaris. mungkin sepanjang jalan sampai persimpangan.  Di sela kemacetan itulah anak kecil yang berdiri tadi menghampiri mobil kami, menepuk nepuk tangannya dan menyanyikan sebuah lagu yang tak jelas, suaranya terdengar gemetar. Akupun  melihat bajunya yang basah dan bibirnya biru menahan dingin. Dan bocah itu tidak sendiri. Beberapa anak lainnya juga terlihat mondar mandir mengamen untuk setiap kendaraan yang berhenti. Di balik baju basah dan wajah polos mereka, Mereka telah membuat hatiku tersayat. Terlebih anak kecil yang berdiri di hadapanku ini. Jika boleh kutebak mungkin usianya masih 5-6tahun. Suaranya saja masih terdengar sedikit cadel.
 
Sepertinya bukan hanya aku. Mama dan keluargaku juga kasihan pada bocah ini, dia masih terlalu kecil, bajunya yang basah gombroh itu pasti bisa membuatnya sakit. Atau membunuhnya.
akupun memberikan sejumlah uang pada bocah itu, uang yang tak banyak tapi sudah cukupmengguratkan senyum di bibirnya yang biru. Anak itu langsung berlari mencari kendaraan lain. Dan mungkin dia akan menyayat hati lebih banyak orang lagi.

..
Kau tau, kadang kita mengeluhkan banyak hal. Hal-hal yang tak kita punya, hal-hal yang menjadi kekurangan kita. Tapi tanpa kita sadari ada banyak hal juga dalam hidup kita yang begitu diinginkan orang lain, tapi tak kita syukuri.
Saat gerimis malam ini, aku teringat pada bocah itu lagi. Ya, setelah mengingat orang yang kucintai itu pastinya.

Jika masih mengamen malam ini, mungkin bocah itu akan terlihat basah tapi dengan kondisi fisik yang sedikit lebih kuat.  karna 2 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk beradaptasi pada dinginnya hujan.

Ketika itu, jika aku tanya apa yang diinginkan bocah pengamen itu. Dia pasti ingin pulang, istirahat di rumahnya, atau seperti anak-anak lain, merasakan kehadiran seorang ibu yang membuatnya merasa aman dan hangat, dan minum segelas susu.

Tapi inilah hidup, aku tak pernah mengenal siapa bocah malang itu. Mungkin seseorang telah menelantarkannya. Atau mungkin dia telah hidup layak hari ini. Sekali lagi aku tak pernah tau. Yang aku tau bocah itu pernah mengiris hatiku. Dan entah kenapa malam ini aku mengingatnya lagi.

Jika kulihat hidupku yang sudah berkecukupan ini, kadang aku jadi lupa bersyukur. Tapi malam ini, sebuah gerimis membuatku sadar pada kenyataan. Bahwa rumah yang kutempati saat ini, kamar yang hangat ini, dan kedua orang tua yang sangat menyayangiku. Semuanya telah kumiliki, dan aku bersyukur untuk itu.
Walau kadang aku masih suka meminta hal-hal yang tak pernah kumiliki.



Lalu untuk seseorang yang kucintai, dulu sebuah gerimis pernah mengiringi perpisahan kita. Dan aku mengingat itu semua, seperti baru terjadi kemarin. Aku merindukanmu di malam gerimis yang sunyi ini. Tapi jika saja kau membaca tulisan ini suatu saat. Aku harap kau sedang berbahagia, aku sedang tak ingin mengiris hatimu. Meskipun kau telah hilang entah kemana. Biar bagaimanapun aku pernah jatuh cinta padamu dulu.